IndoInsight.com –
Kawasan Laut China Selatan adalah salah satu wilayah yang paling kompleks dan rawan konflik di dunia. Meliputi perairan dan daratan yang sangat luas, kawasan ini telah menjadi sorotan internasional selama puluhan tahun. Dalam artikel ini, kita akan membahas sejarah sengketa Laut China Selatan dan upaya-upaya untuk mencapai perdamaian, terutama melalui kerjasama ASEAN-Tiongkok.
Sengketa Lama dan Wilayah yang Luas
Laut China Selatan mencakup area yang luar biasa luas, dengan sekitar 3,5 juta meter persegi wilayah perairan. Kawasan ini mencakup gugusan kepulauan besar seperti Spratly dan Paracels, serta sejumlah bantaran sungai dan karang. Tapi kompleksitasnya tidak hanya berada dalam ukurannya yang besar, melainkan juga dalam klaim kepemilikan yang saling tumpang tindih oleh beberapa negara, termasuk Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Sejarah konflik di Laut China Selatan muncul pada dasawarsa 1970-an dan terus memanas hingga saat ini. Negara-negara terlibat sering menggunakan argumen sejarah dan geografis untuk mendukung klaim mereka atas wilayah ini. Tiongkok, misalnya, merujuk pada sejarah penguasaan tradisional, sementara negara-negara lain mengacu pada Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982.
Peran Indonesia dalam Sengketa
Indonesia bukanlah salah satu negara yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan. Namun, sejak 2010, Indonesia secara tidak langsung terlibat dalam sengketa ini. Tiongkok secara sepihak mengklaim sebagian besar wilayah perairan Laut China Selatan, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di utara kepulauan Natuna Provinsi Kepulauan Riau.
Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo mengunjungi Natuna untuk mengirimkan sinyal bahwa Indonesia akan melindungi hak-hak kedaulatan di ZEE-nya. Selain itu, Indonesia mengganti nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara dalam peta resmi mereka, mengacu pada UNCLOS 1982.
Tiongkok dan Sengketa Laut China Selatan
Tiongkok telah menjadi fokus dalam sengketa Laut China Selatan. Mereka mengklaim wilayah ini dengan dasar “Sembilan Garis Putus-putus” yang mereka keluarkan pada tahun 1947. Namun, pengadilan arbitrase internasional di Den Haag pada tahun 2016 menyatakan bahwa klaim semacam itu tidak memiliki dasar hukum atau historis.
Upaya Diplomasi ASEAN-Tiongkok
ASEAN telah memainkan peran penting dalam mencoba menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan. Pada tahun 1992, ASEAN mengeluarkan Deklarasi tentang Perilaku di Laut China Selatan yang menyerukan penyelesaian sengketa secara damai. Pada tahun 2002, ASEAN-Tiongkok sepakat mengeluarkan Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC), menekankan kewajiban untuk mematuhi hukum internasional dan menyelesaikan sengketa dengan damai.
Pada tahun 2011, ASEAN-Tiongkok merumuskan Panduan untuk Pelaksanaan DOC, langkah awal dalam perumusan Code of Conduct in the South China Sea (CoC). Pada tahun 2019, para pemimpin ASEAN-Tiongkok mengeluarkan pernyataan bersama yang menegaskan pentingnya perdamaian, keamanan, dan kebebasan navigasi di Laut China Selatan. Mereka juga sepakat untuk menyelesaikan pembacaan bersama CoC dalam waktu tiga tahun atau kurang.
Kesimpulan
Sengketa Laut China Selatan adalah masalah yang rumit dan terus berkembang. Namun, upaya-upaya diplomasi oleh ASEAN dan Tiongkok menunjukkan kemajuan yang positif dalam mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan ini. Semua pihak harus berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa ini dengan cara damai, dengan merujuk pada hukum internasional, sehingga Laut China Selatan dapat menjadi kawasan yang damai, stabil, dan makmur bagi semua negara yang terlibat.