IndoInsight.com –
Pada era globalisasi ini, ketegangan antara China dan Taiwan telah menjadi perbincangan hangat di dunia internasional. China dengan tegas menyatakan bahwa penyatuan Taiwan dengan Beijing akan terjadi suatu saat nanti. Kebijakan One China yang dipegang teguh oleh pemerintahan Xi Jinping telah memperjelas bahwa negara-negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan tidak boleh memiliki kepentingan bersama Beijing. Masalah semakin memburuk ketika Amerika Serikat (AS) berperan dalam konflik ini dengan kebijakan yang ambigu.
Pernyataan Presiden Joe Biden yang menyatakan bahwa AS akan membantu Taiwan jika menghadapi agresi dari China telah membuat ketegangan semakin meningkat. Hal ini menjadi sorotan utama bagi pemerintahan China. Bahkan, setelah pernyataan tersebut, Ketua DPR AS, Nancy Pelosi, melakukan kunjungan ke Taiwan, yang kemudian membuat China merespon dengan mengirimkan rudal yang jatuh mengelilingi pulau tersebut.
Time dalam laporan tanggal 12 April 2023, menjelaskan bahwa Presiden China Xi Jinping telah mengambil langkah lebih jauh dengan mengklaim bahwa Taiwan akan kembali ke Republik Rakyat China dengan segala cara yang diperlukan. Di sisi lain, Presiden Joe Biden secara konsisten menyatakan bahwa AS akan membantu Taiwan jika China melakukan serangan.
Selat Taiwan, yang dilihat oleh AS sebagai jalur perairan yang strategis, dapat menjadi pemicu konflik yang serius. AS sering mengirimkan armada militer mereka ke wilayah tersebut, sementara China memposisikan puluhan ribu prajurit dan perangkat keras militer di sekitar Selat Taiwan. Dalam situasi yang sangat tegang seperti ini, insiden kecil pun dapat memicu konflik besar antara dua negara terkuat di dunia.
Beberapa pihak berpendapat bahwa mengabaikan provokasi China adalah tindakan bodoh. Dengan adanya banyak perangkat keras militer yang bergerak di wilayah yang sempit, risiko kecelakaan atau insiden yang dapat memicu konflik langsung harus dihindari dengan serius.
Namun, hingga saat ini, belum ada kejelasan tentang bagaimana China akan menyerang Taiwan. Apakah melalui pendaratan amfibi, serangan udara massal, atau serangan dengan ratusan rudal sekaligus, semuanya masih menjadi tanda tanya. China memegang informasi tersebut dengan ketat, sehingga membuat AS berspekulasi tentang strategi China.
Namun, ada pandangan bahwa China tidak akan menyerang Taiwan dalam waktu dekat. China tampaknya hanya akan bertindak keras jika ada campur tangan AS dalam urusan Taiwan. Dalam pandangan ini, China ingin menghilangkan pengaruh AS terlebih dahulu sebelum menginvasi Taiwan. Dengan kehadiran AS di wilayah tersebut, invasi China ke Taiwan tampaknya menjadi suatu kemungkinan yang sangat kecil.
Meskipun demikian, risiko konflik tidak dapat diabaikan. China telah menunjukkan sikap kerasnya ketika pejabat tinggi AS dan Taiwan bertemu secara langsung. China sangat menyadari bahwa tindakan ini akan diperhatikan oleh Washington.
Dalam situasi ini, baik AS maupun China harus mempersiapkan diri secara serius. AS telah mencoba mendekati Indonesia, meskipun Indonesia saat ini tidak mengizinkan pangkalan militer AS di wilayahnya. Namun, ahli strategi pertahanan Australia, Hugh White, menyatakan bahwa pangkalan militer Indonesia yang dapat diakses oleh pasukan AS akan menjadi aset penting dalam menjaga keamanan Taiwan.
Meskipun saat ini Indonesia tidak mengizinkannya, AS berupaya untuk mendekati Indonesia agar China membatalkan niatnya untuk menyerang Taiwan. Dalam situasi yang penuh ketegangan ini, peran Indonesia mungkin menjadi kunci untuk menjaga stabilitas di kawasan Asia Timur.