IndoInsight.com –
BRICS dan Potensi Bergabungnya Indonesia: Antara Keuntungan dan Tantangan
KTT BRICS yang melibatkan Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan di Johannesburg pada 22-24 Agustus 2023 telah menghasilkan berbagai kesepakatan penting, salah satunya adalah perluasan keanggotaan. Arab Saudi, Iran, Ethiopia, Mesir, Argentina, dan Uni Emirat Arab telah diundang untuk menjadi anggota baru dalam blok ini. Indonesia juga disebut-sebut sebagai negara yang mempertimbangkan bergabung, dan kehadiran Presiden RI Joko Widodo di KTT BRICS telah memperkuat spekulasi ini.
Namun, pada hari yang sama dengan pengumuman keanggotaan baru tersebut, Jokowi menyatakan bahwa Indonesia belum menyampaikan ‘expression of interest’ resmi untuk bergabung. Menurutnya, Indonesia perlu melakukan kajian dan perhitungan lebih lanjut sebelum membuat keputusan ini.
Para pengamat juga mengamati bahwa saat ini belum ada urgensi ekonomi atau politik bagi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, terutama setelah perluasan keanggotaan baru-baru ini. Keputusan untuk bergabung dengan BRICS harus dipertimbangkan dengan matang.
BRICS saat ini merupakan rumah bagi 40 persen populasi dunia dan seperempat produk domestik bruto (PDB) dunia. Namun, penting untuk dicatat bahwa pertimbangan untuk bergabung dengan BRICS tidak hanya didasarkan pada faktor ekonomi. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), menekankan bahwa persaingan geopolitik antara negara-negara anggota, terutama Cina dan India, perlu dipertimbangkan dengan serius. New Delhi, misalnya, tidak ingin BRICS menjadi wadah bagi kepentingan Beijing.
Meskipun Indonesia belum bergabung dengan BRICS, kehadiran Presiden Jokowi di KTT BRICS memiliki nilai simbolik yang penting. Andrew Mantong, peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS, menyatakan bahwa ini memberikan sinyal kepada Amerika Serikat bahwa Indonesia memiliki alternatif dalam hubungan internasional.
Namun, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS juga akan membawa dampak baik dan buruk. Dampak negatifnya termasuk Amerika Serikat mungkin akan menganggap Indonesia lebih mendukung Rusia dan Cina, yang merupakan rival politik dan ekonomi Amerika Serikat. Di sisi lain, bergabungnya Indonesia dapat memperkuat hubungan diplomatik dengan negara-negara berkembang sebagai penyeimbang terhadap negara-negara maju.
Selain itu, Indonesia dapat menunjukkan bahwa negara ini tetap menjalankan doktrin kebijakan luar negeri politik bebas aktif yang digagas oleh Mohammad Hatta. Hal ini juga akan membuka peluang untuk diplomasi dengan negara-negara Asia-Afrika yang merupakan anggota mayoritas BRICS, yang dapat berguna dalam mempersiapkan perayaan 70 tahun Konferensi Asia Afrika pada 2025.
Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS juga terjadi pada saat polarisasi geopolitik global semakin meningkat. Lebih dari 40 negara, termasuk Indonesia, telah menunjukkan minat untuk bergabung dengan BRICS sebagai upaya untuk menyamakan kedudukan global yang selama ini didominasi oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.
Dengan pertimbangan yang matang, Indonesia harus memutuskan apakah bergabung dengan BRICS akan memberikan manfaat lebih besar daripada risikonya. Keputusan ini akan memengaruhi dinamika hubungan internasional Indonesia dalam waktu yang akan datang.